BBS.COM | SERANG, BANTEN – Polemik Seleksi Pegawai RSUD Labuan dan RSUD Cilograng: Antara Fakta dan Opini Liar. Proses rekrutmen pegawai di RSUD Labuan dan RSUD Cilograng menuai sorotan publik. Namun, penting untuk memisahkan kritik yang berdasar dari opini liar tanpa bukti yang berpotensi merusak kepercayaan terhadap institusi publik.
Sistem Seleksi Pegawai: Transparan dan Teruji
Rekrutmen ini menggunakan sistem Computer Assisted Test (CAT), sebuah metode seleksi berbasis komputer yang menjamin transparansi dan objektivitas. Setiap peserta menerima hasil ujian secara real-time, sehingga ruang intervensi manual hampir tidak mungkin terjadi.
CAT di rancang untuk meminimalkan manipulasi dan menjaga akuntabilitas. Oleh karena itu, tuduhan adanya kecurangan skor seharusnya di buktikan melalui jalur hukum atau forensik digital, bukan lewat narasi spekulatif di media sosial.
Afirmasi Domisili: Kebijakan Bukan Diskriminasi
Isu afirmasi domisili juga menjadi sorotan. Perlu di pahami bahwa afirmasi bukanlah bentuk diskriminasi, tetapi kebijakan afirmatif yang sifatnya terbatas. Tambahan skor yang di berikan tidak serta-merta menggugurkan peserta lain secara drastis.
Narasi “nilai tinggi tapi tidak lolos” seringkali tidak menyertakan informasi lengkap, seperti peringkat akhir peserta atau total komponen nilai yang di hitung. Tanpa data tersebut, klaim semacam itu tidak lebih dari potongan cerita yang menyesatkan.
Ruang Sanggah Resmi Terbuka, Bukan Ruang Opini Tak Bertanggung Jawab
Panitia seleksi telah menyediakan ruang sanggah resmi, yang semestinya di manfaatkan oleh peserta untuk menyampaikan keberatan. Sayangnya, sebagian justru memilih menggunakan opini media sebagai alat tekanan.
Ini bukan bentuk kontrol sosial yang sehat, melainkan delegitimasi prosedur yang sah. Kritik memang dibutuhkan dalam demokrasi, namun harus disampaikan dengan data, bukti, dan melalui kanal yang tepat.
Meritokrasi Harus Dijaga, Bukan Dirusak
Menuduh sistem seleksi sebagai bentuk kolusi dan nepotisme tanpa bukti adalah bentuk kekerasan simbolik terhadap prinsip meritokrasi. Ribuan peserta telah berkompetisi secara jujur. Mendelegitimasi hasil hanya karena tidak sesuai harapan pribadi adalah tindakan tidak etis.
Tuduhan bahwa RSUD menjadi “sarang KKN” juga tidak berdasar jika tidak diikuti oleh audit resmi atau temuan pelanggaran hukum. Label tanpa dasar seperti itu berpotensi menjadi fitnah terbuka yang merugikan institusi dan masyarakat luas.
Kritik Sehat Butuh Data, Bukan Asumsi
Demokrasi memberi ruang untuk kritik, tapi kritik yang bertanggung jawab lahir dari fakta, metodologi, dan niat baik untuk memperbaiki. Bukan dari amarah, tekanan massa, atau kepentingan pragmatis.
Bagi pihak yang merasa dirugikan, ajukan bukti, bukan asumsi. Transparansi tidak lahir dari tekanan populis, tetapi dari keberanian untuk menguji sistem secara legal dan logis.
(Suheli IWO-I Kabser)