BBS.COM | JAKARTA – Menjaga Kebebasan Pers, Menjaga Demokrasi. Mahmud Marhaba Ketua Umum DPP Pro Jurnalisme Media Siber (PJS) saya merasa perlu menyampaikan catatan awal pekan ini menyikapi beredarnya rumor bahwa Istana Negara telah mencabut kartu liputan wartawan CNN Indonesia. Respons dari berbagai organisasi pers, termasuk Dewan Pers, menunjukkan bahwa isu ini bukan sekadar kabar sepele, tetapi menyentuh hal mendasar dalam kehidupan berdemokrasi: kebebasan pers.
Publik memiliki hak untuk mengetahui duduk persoalan secara terbuka. Jika benar pencabutan ini terjadi, apakah itu merupakan kebijakan resmi Presiden?
Ataukah hanya reaksi dari ketakutan pihak-pihak tertentu di lingkar dalam, khususnya di bagian Humas Istana?
Kebebasan Pers Adalah Amanat Konstitusi
Bagi saya, kebebasan pers bukan sekadar jargon atau simbol demokrasi. Ia adalah amanat konstitusional. Pasal 28F UUD 1945 secara tegas menyebutkan:
“Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi…”
Pers menjadi saluran utama bagi rakyat dalam memperoleh informasi yang mereka butuhkan, sekaligus sarana kontrol terhadap kekuasaan. Oleh karena itu, pencabutan kartu liputan tidak bisa dianggap urusan teknis semata, tetapi berpotensi melanggar hak konstitusional warga negara.
Kartu Liputan: Alat Akses, Bukan Alat Hukuman
Kartu liputan adalah sarana kerja jurnalistik, bukan bentuk penghargaan apalagi sanksi. Jika sebuah pemberitaan dinilai tidak akurat atau merugikan pihak tertentu, mekanismenya sudah jelas dan sah secara hukum:
- Hak jawab
- Hak koreksi
- Pengaduan ke Dewan Pers
Semua ini diatur dalam Undang-Undang Pers.
Menutup akses wartawan hanya akan menimbulkan kesan bahwa pemerintah tidak terbuka terhadap kritik.
Efek Ketakutan dan Bahaya Demokrasi Bungkam
Langkah semacam ini sangat berisiko menimbulkan chilling effect — di mana media lain merasa terancam, dan akhirnya memilih diam demi menghindari tekanan.
Padahal, perlu kita sadari:
Kritik yang sehat adalah vitamin bagi pemerintah, bukan racun.
Jika akses media dibatasi, maka ruang kritik juga tertutup. Tanpa kritik, demokrasi akan kehilangan fondasi pengawasan.
Solusi Sederhana, Tapi Mendasar
Agar kejadian ini tidak berkembang menjadi preseden buruk, saya mengusulkan empat langkah konkret:
- Pemerintah, khususnya Istana, perlu memberikan klarifikasi terbuka agar publik tidak terjebak dalam spekulasi liar.
- Jika pencabutan itu benar, Presiden harus menjelaskan apakah itu keputusannya atau hanya kesalahan prosedural aparat Humas.
- Perlu dijalin dialog rutin antara Presiden dan komunitas pers untuk menjaga komunikasi dan saling pengertian.
- Kritik media seharusnya dipandang sebagai refleksi dan masukan, bukan sebagai serangan terhadap kekuasaan.
Presiden Sedang Diuji
Saya meyakini bahwa Presiden tidak alergi terhadap kritik. Namun, jika pola pembatasan terhadap pers dibiarkan berulang, maka citra demokrasi yang telah dibangun dengan susah payah sejak reformasi akan tercoreng.
Kini, Presiden diuji:
Akankah beliau berdiri teguh sebagai pelindung kebebasan pers, atau justru membiarkan demokrasi kita digerogoti oleh rasa takut dari lingkaran dalamnya sendiri?
Semoga peristiwa ini menjadi pelajaran berharga dan mendorong perbaikan nyata bagi kehidupan pers dan demokrasi di Indonesia.
🖋️. Selasa 30 September 2025
Mahmud Marhaba Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Pro Jurnalisme Media Siber (PJS)