Oleh M. Rapiudin Akbar, Lc
BBS.COM | Perjalanan ini memang belum seumur jagung. Masih panjang dan luas terbentang. Namun, separuh pertama telah dan terus saya habiskan sebagai santri.
Awalnya, saya belajar di Pondok Pesantren Daarul Falah. Di sana saya mengenal ilmu dan adab. Keduanya menjadi bekal utama dalam melangkah, dan terus saya praktikkan hingga hari ini.
Kemudian, atas dukungan penuh dari orang tua dan doa para guru tercinta, saya mendapat kesempatan langka: belajar di pusat peradaban ilmu-ilmu agama, Universitas Al Azhar, Mesir.
Sebuah mimpi yang bahkan untuk dibayangkan saja saya tak pernah berani. Al Azhar adalah nama besar yang termasyhur, jauh dari kampung kecil di utara Kabupaten Tangerang. Ribuan kilometer dari tanah kelahiran, tetapi dekat di hati para pencinta ilmu.
Di sana, pikiran saya semakin terbuka. Saya mengenal banyak tokoh, baik lewat literatur maupun ceramah-ceramah. Salah satunya adalah Tuan Guru Bajang (TGB), salah satu tokoh bangsa lulusan Al Azhar yang menjadi inspirasi saya. Sejak di Mesir, beliau saya jadikan teladan—baik dalam semangat belajar, keterlibatan sosial, maupun kontribusi kebangsaan.
Seperti banyak santri lainnya, saya pun punya role model. Dan TGB adalah sosok yang saya sematkan dalam peran itu. Saat belajar, saat acara, bahkan dalam forum mahasiswa Indonesia di Mesir, saya sering menyebut cucu pendiri Nahdlatul Wathan ini sebagai inspirasi.
Sepulang dari pusat peradaban itu, saya dipercaya untuk mengabdi sebagai wakil rakyat. Sebuah anugerah, sekaligus ujian. Saya menjalaninya sebagai ladang pembelajaran. Di ruang amanah itu, saya menulis banyak catatan. Termasuk tentang bagaimana suara santri harus lebih didengar, dan gagasannya lebih dirawat.
Sebagai santri yang diberi amanah di legislatif, saya berusaha membawa semangat dan visi pondok pesantren ke ruang-ruang pengambilan kebijakan. Salah satu kehormatan besar, adalah saat saya akhirnya berjumpa langsung dengan TGB—tokoh yang sejak kuliah menjadi idola saya—dalam satu program bersama, di hadapan ratusan kiai dan guru ngaji.
Dari ruang itu pula, lahir program BEASISWA DAERAH untuk para santri. Tahun pertama menjabat, saya dan sahabat-sahabat seperjuangan. Mulai mengurai benang yang sebelumnya tersendat: Memastikan para santri bisa kuliah di luar negeri tanpa biaya.
Tahun ini, 20 santri berhasil berangkat. Tahun depan, insyaallah, targetnya 50. Tujuannya beragam: Mesir, Cina, dan Malaysia. Kita ingin membuka jalan lebih luas agar santri bisa menjadi bagian dari diaspora ilmu, tanpa meninggalkan akarnya.
Tentu, ini belum seberapa. Tapi khidmat kepada santri tak boleh berhenti. Selamat Hari Santri Nasional. Mari diaspora. Mengisi seluruh lini. Dan mewarnai negeri dengan nilai-nilai pesantren.
Tahun depan, insyaallah, gagasan kedua kami akan diluncurkan: Pojok Literasi Santri, atau bisa juga disebut: KLINIK SANTRI.
Sebuah program yang didedikasikan untuk penelitian dan pengembangan keilmuan para santri. Menjadi Pusat Kajian dan Referensi Santri Terbesar di Banten. Gedungnya sedang dalam proses, dan direncanakan akan diresmikan pada awal tahun 2026 oleh K.H. Ma’ruf Amin.
