BBS.COM | BANTEN – Petuah lokal masyarakat Pandeglang menyebut: “Urang Pandeglang mah ulah kabablasan lamun keur meunang posisi, kudu bisa mikacermin jeung nyaho diri.” (Orang Pandeglang jangan sampai kebablasan ketika mendapat posisi, harus bisa bercermin dan tahu diri.) Namun, dalam dinamika kekuasaan di Provinsi Banten, nilai luhur ini perlahan mulai di lupakan—terutama oleh sosok yang kini tengah berada di sorotan: Wakil Gubernur Banten, Dimyati Natakusumah.
Alih-alih menjadi representasi loyalitas dan dukungan terhadap gubernur, namun posisi wakil justru berubah menjadi panggung ambisi. Dalam berbagai kesempatan, baik formal maupun informal, Wagub tampil layaknya pemegang kendali utama. Narasi politik di warnai manuver yang mengaburkan garis komando birokrasi dan juga menimbulkan kegelisahan internal di lingkungan Pemprov Banten.
Dimyati dan Ambisi Pilgub 2029
Sejumlah pengamat melihat gerakan ini sebagai bentuk political overreach—tindakan seorang pejabat yang melampaui batas peran konstitusional demi kepentingan politik pribadi. Langkah ini di yakini sebagai bagian dari strategi Wagub menuju Pemilihan Gubernur Banten 2029.
Gaya kepemimpinan yang ‘overlapping’ antara gubernur dan wakil justru menciptakan disorientasi dalam birokrasi. Para ASN kebingungan terhadap arah komando. Kebijakan menjadi tumpang tindih, dan pelayanan publik berisiko terganggu.
Isu Infiltrasi ASN dari Pandeglang
Keresahan makin memuncak seiring mencuatnya isu masuknya ASN dari Kabupaten Pandeglang—basis politik Dimyati—ke jabatan strategis di lingkungan Pemprov Banten. Proses yang seharusnya berdasarkan prinsip meritokrasi justru di nilai sarat kepentingan politik. Seolah-olah sedang di bangun klan kekuasaan di balik layar birokrasi.
Jika kondisi ini terus di biarkan, netralitas birokrasi bisa terancam. ASN bukan lagi abdi negara, tapi menjadi alat politik. Ini sangat membahayakan kredibilitas pemerintahan, apalagi di era di mana publik menuntut transparansi dan integritas dari pejabat publik.
Butuh Ketegasan Elite Politik Banten
Langkah politik Wakil Gubernur Banten ini memang terlihat strategis dari sisi elektoral. Namun, publik tak bisa di kelabui. Rakyat Banten menuntut kepemimpinan yang solid dan sinergis—bukan pertarungan internal yang hanya akan merugikan masyarakat.
Elite politik Banten harus segera bersikap. Jangan tunggu stabilitas pemerintahan runtuh akibat ambisi pribadi, yakni yang di samarkan dengan slogan. Jangan biarkan petuah kearifan lokal masyarakat Pandeglang hanya menjadi hiasan kosong tanpa makna dalam realitas politik hari ini.
(Suheli)